Mengurangi Peringatan Hari Kartini Yang Sebatas Seremoni

Gambar Peringatan Kari Kartini

Mengurangi Peringatan Hari Kartini yang Sebatas Seremoni


Apa yang ada dalam pikiranmu ketika Hari Kartini? Pasti ingat kebaya, sanggul, ibu Kartini yang bergotong-royong lebih sempurna dipanggil Mbak Kartini alasannya yakni meninggal pada usia 25 tahun, atau karnaval? Pasti juga ada yang mengingat program kartinian di sekolah yang berarti tidak ada pelajaran di sekolah. Juga wacana televisi dan media yang niscaya akan banyak mengangkat tema wacana Kartini dan perempuan-perempuan Indonesia yang disebut ‘hebat’. Satu lagi, niscaya infotainment juga mengangkat tema itu, tentu dengan tampilan yang (maaf) lebai.

Itulah, selama ini lebih banyak pihak yang memaknai dan memperingati Hari Kartini sebatas program seremonial. Memakai kebaya ibarat baju yang digunakan oleh RA Kartini di potret hitam putih yang tersebar di dunia maya dan di ruang-ruang kelas bersama formasi pendekar lain. Juga menggunakan sanggul, sebagai perwujudan perempuan jawa.


Acara-acara itu sebatas pada seremonial. Seharusnya, momentum Hari Kartini dimaknai sebagai upaya mencerdaskan seluruh bangsa Indonesia melalui pendidikan. Jika ingin memaknai usaha Kartini, seharusnya melihat secara komprehensif. RA Kartini yakni perempuan Jawa yang hidup di masa kolonial Belanda. Dia ingin terus bersekolah tetapi alasannya yakni tradisi, maka impian tersebut kesannya pupus. Tetapi RA Kartini tidak lantas menolak budaya Jawa, ia tetap patuh pada tradisi dan orang renta (Bapaknya yang melarang untuk sekolah). Tetapi kepatuhannya juga tidak menghentikan mimpinya untuk tetap mencar ilmu dan berkomunikasi dengan dunia luar. Bahkan, ketika ia punya kesempatan (diizinkan oleh suaminya sesudah menikah) untuk membuka pengajaran untuk perempuan-perempuan lain.

Dari klarifikasi singkat di atas yang perlu dicatat dan dipahami adalah, RA Kartini tetap menghormati tradisi dan adab Jawa sebagai budaya leluhurnya. Dia tidak lantas menghantam dan melawan hukum budaya dan adab istiadat. Lalu, bandingkan dengan sekarang. Memang tidak semuanya yang mengaku pejuang emansipasi, masihkah tetap menjalankan dan menghormati tradisi?

Maka dari itu, yang seharusnya diambil semangatnya yakni semangat pendidikan, semangat terhadap pelaksanaan kiprah dan kodrat sebagai perempuan. Bukan lantas kebaya dan sanggul. Kebetulan saja, Kartini yakni orang Jawa yang berkebaya dan bersanggul. Kalau orang yang bernasib ibarat RA Kartini yakni orang Minangkabau tentu ia akan menggunakan baju adab Minang. Jika ia yakni orang Madura, ia niscaya menggunakan kebaya dengan warna cerah diikat degan pusar kelihatan, rambut diikat tanpa sanggul, dan kain jarit (kain batik) digunakan agak cingkrang di bawah lutut.

Yuk meresapi peringatan  Hari Kartini tidak lagi sebatas seremoni. Harus dapat meresapi dalam hati, untuk dapat dilaksanakan dan menjadi jati diri. Lebih khusus kepada seluruh perempuan Indonesia jadilah Kartini dan Perempuan Indonesia seutuhnya. Perempuan Aceh tak perlu berkebaya dan bersanggul untuk meneladani Kartini, begitu juga dengan perempuan dari Papua.

Lihat juga cara menggambar foto wajah RA Kartini


Selamat Hari Kartini, salam pustamun!
LihatTutupKomentar