Lakon Carangan

LAKON CARANGAN, atau cerita carangan adalah lakon wayang yang keluar dari jalur pakem (standar) kisah Mahabarata atau Ramayana. Namun, para pemeran dan tempat-tempat dalam cerita carangan itu tetap menggunakan tokoh-tokoh Wayang Purwa yang berdasarkan Mahabarata atau Ramayana seperti biasanya. Biasanya cerita carangan semacam ini dilakukan untuk memenuhi pesanan dari pihak yang nanggap, atau untuk misi penerangan pemerintah.

Sebagian ahli wayang berpendapat bahwa sebaiknya tidak diadakan pemisahan antara lakon wayang yang pakem dan yang carangan. Alasannya, sebenarnya semua lakon wayang adalah karangan manusia. Sebuh lakon yang semula dianggap sebagai carangan bisa saja menjadi baku atau pakem, bilamana cerita atau lakon itu ternyata diterima masyarakat sehingga sering dipertunjukkan.
ASKI, Akademi Seni Karawitan Indonesia, sebuah lembaga pendidikan kesenian di Surakarta pernah mengadakan penelitian dan pengumpulan data mengenai lakon carangan ini. Pada bulan Oktober 1988, ASKI diubah statusnya menjadi STSI atau Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Surakarta.

Lakon carangan yang sudah terlalu jauh keluar dari jalur pakem, biasanya disebut lakon sempalan. Selain itu, dalam Wayang Purwa dikenal juga adanya lakon banjaran, yakni lakon yang khusus digubah oleh Ki Dalang tentang riwayat hidup lengkap (biografi) seorang tokoh wayang.

Di antara tema lakon carangan, yang terbanyak adalah yang menyangkut hidup perkawinan Arjuna dengan Subadra. Biasanya ceritanya berkisar pada peristiwa, karena Arjuna pergi bertapa, banyak pihak yang mengambil kesempatan untuk mengambil alih istri Arjuna itu. Cerita yang temanya demikian, di antaranya adalah lakon Sinusena, Cekel Endralaya, Sidajati-Sidalamong, dan sebagainya.

Cukup banyak lakon carangan kuna yang kurang sesuai dengan selera masyarakat penonton, akhirnya juga punah, tidak lagi dipergelarkan orang. Misalnya, beberapa lakon carangan yang menyangkut tokoh Bima: Bima Kacep, Bima Tulak, dan Bima Medamel.

Pada lakon-lakon itu diceritakan tentang Bima yang berbuat selingkuh dengan Dewi Uma; tentang Bima yang bertelanjang  berkeliling sawah dengan alat kelamin memancarkan sinar terang, dan Bima yang menanam ketan gondil agar dapat menurunkan raja-raja di Tanah Jawa.
Tema cerita lakon-lakon itu tidak sesuai dengan imajinasi masyarakat terhadap Bima, sehingga tidak diminati orang.

Lakon Carangan di Surakarta

Lakon carangan yang beredar di daerah Surakarta dapat digolongkan menjadi tujuh golongan yakni:
  1. Lampahan Raben (cerita perkawinan) contohnya: lakon Rabinipun Dursasana (perkawinan Dursasana); lampahan Rabinipun Wisanggeni (Perkawinan Wisanggeni), Ugrasena Rabi dan sebagainya.
  2. Lampahan Wahyon (cerita wahyu) contohnya: Wahyu Cakraningrat, Wahyu Trimanggolo, Wahyu Topeng Wojo, Wahyu Purbosejati, dan sebagainya.
  3. Lampahan Malih-malihan (cerita perubahan wujud) contohnya: lakon Doraweca; Jayeng Katong; Samba Warangka; Suryadadari; Peksi Mas Merak; Rasatali-Talirasa, Bandung Naga Sewu, dan sebagainya.
  4. Lampahan Lahir-lahiran (cerita kelahiran) contohnya: lakon Lahiripun Danankusuma; Lahiripun Bambang Danasalira, Lahiripun Petruk, Gatotkaca Lahir, Abimanyu Lahir, Arjuna Lahir dan sebagainya.
  5. Lampahan Murcan (cerita menghilang) contohnya: lakon Partawarayang; Jaka Brongsong; Turanggajati; Jongke Asmara Cipta, dan sebagainya.
  6. Lampahan Lucon (cerita humor) contohnya lakon Petruk Kelangan Petel; Gareng Tetak; Bagong Dadi Ratu; Kresnadenta; Gareng Dadi Ratu, dan sebagainya.
  7. Lampahan Wejangan (cerita tentang mistik) contohnya: lakon Senalodra; Gatotkaca Dados Guru; Pendawa Pitu; Arjuna Pitu; Arjuna Pingit; Mayangkara, dan sebagainya.
Prof. Dr. Soetarno salah seorang pengamat budaya wayang dari Surakarta mengatakan bahwa seluruh lakon Wayang Kulit gaya Surakarta dapat dibagi ke dalam dua bagian, yakni lakon pokok dan lakon carangan. Lakon carangan dibagi menjadi tiga kategori yaitu: lakon carangan kadapur, lakon carangan, dan lakon sempalan.
  1. Lakon Pokok juga disebut lakon dapur, lakon jejer atau lakon lugu; menggambarkan cerita versi tradisional seperti yang dibawakan dalam Ramayana dan Mahabarata. Contohnya lakon Pandu Lahir.
  2. Lakon Carangan tokoh-tokohnya mengambil dari lakon pokok, tetapi alur ceritanya sama sekali dibuat baru. Pada umumnya lakon-lakon tersebut disusun oleh para ahli pewayangan atau seniman dalang dan mempunyai fungsi pedagogis, dan kadang-kadang memuat kritik sosial atau ajaran spiritual.
Lakon Carangan dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu:
  1. Lakon Carangan Kadapur yang masih ada hubungannya dengan lakon pokok, berpegang pada tema yang sama dan menggunakan silsilah tokoh-tokoh yang sama. Jenis lakon ini kurang lebih sifatnya seperti lakon-lakon pokok. Contohnya lakon Jaladara Rabi,  menceritakan perkawinan antara Kakrasana dengan Dewi Erawati. Lakon Utara dan Wiratsangka Krama, menceritakan perkawinan utara dan Wiratsangka putera raja Matswapati. Lakon Wirata Parwa, menceritakan pemunculan lagi para Pandawa di Wirata setelah mengalami pembuangan selama dua belas tahun.
  2. Lakon Carangan adalah suatu cerita yang tidak ada sambungannya lagi dengan lakon-lakon pokok, dan ini benar-benar merupakan ciptaan baru. Contohnya lakon Dasa Warna, yang menceritakan Petruk menjadi raja di tanah sabrang; lakon Mustakaweni, yang menceritakan perkawinan antara Priyambada putra Arjuna dengan Mustakaweni.
  3. Lakon Sempalan adalah jenis lakon yang mengambil tokoh utamanya sama dengan lakon pokok, tetapi temanya dirubah. Contohnya lakon Pregiwa Pregiwati yang menceritakan Endang Pregiwa dan Pregiwati mencari ayahnya dan pertemuan mereka dengan Gatotkaca, putra Bima; lakon Gatotkaca Sungging yang mengisahkan perkawinan antara Gatotkaca dengan Dewi Dahanawati anak Prabu Dahanamukti dari Kerajaan Dahanapura; lakon Swarga Bandang, yang mengisahkan Srikandi menyamar sebagai penari untuk mencari Arjuna di Swarga Bandang; lakon Dewa Ruci, menceritakan pertemuan Bima dan Dewa Ruci atau Bima mencari Tirta Pawitra (air kehidupan).
Tradisi pedalangan Surakarta juga terdapat jenis lakon pasemon (sindiran) atau gambaran terhadap peristiwa pada zaman kerajaan di Jawa. Lakon-lakon itu antara lain: lakon Swarga Bandang, yang dibuat pada zaman Panembahan Senapati di Mataram, merupakan penggambaran pada waktu bedah Mangir; lakon Rajamala, dibuat zaman kekuasaan Senapati di Mataram. Lakon ini pasemon terbunuhnya Arya Panangsang di Jipang Panolan; lakon Mustakaweni sampai lakon Petruk Dadi Ratu adalah pasemon kehidupan Paku Buwana I di Surakarta; lakon Gilingwesi (Werkudara Dadi Ratu) dibuat zaman Paku Buwana II, adalah pasemon bedahnya Keraton Kartasura; lakon Wijanarka ditulis pada zaman Paku Buwana III di Surakarta, adalah pasemon kembalinya Paku Buwana II dari Ponorogo setelah menjadi menantunya Anom Besari; lakon Suryaputra Maling dibuat pada zaman Paku Buwana III di Surakarta, adalah pasemon Pangeran Singasari menjadi pencuri; lakon Kresna Kembang dicipta pada zaman Paku Buwana IV di Surakarta, merupakan pasemon percintaan Ratu Pembayun dengan Raden Mas Hario Natawijaya.

Juragan Wayang Wong, yakni pengelola bisnis Wayang Orang adalah sebab utama membanjirnya lakon-lakon carangan baru, yang sering kali tidak memperhatikan soal logika cerita dan filsafat wayang. Sebagai juragan, dengan tujuan menarik penonton sebanyak mungkin, kadang kala mereka mengarang cerita carangan baru. Padahal para juragan itu minim sekali pengetahuannya tentang balungan lakon wayang, pakem wayang, bahkan sering kali buta mengenai filsafatnya. Para pemainnya tidak ada yang berani mengoreksi, walaupun itu salah.

Mereka inilah yang pada tahun 1925-an sampai sekitar tahun 1945-an, menyebabkan lakon-lakon Wayang Purwa menjadi simpang siur, dangkal filsafatnya, dan juga terkadang malahan tidak masuk akal.
LihatTutupKomentar